Salam sejahtera...
Semoga artikel ini bisa memberikan sekilas informasi bagi rekans untuk menikmati liburan yang berkesan di Bali.
Patung
Satria Gatotkaca yang megah ini dibangun pada tahun 1993 di tengah-tengah simpang tiga di sebelah timur laut Bandar Udara Internasional Ngurah Rai, Bali.
Diambil dari cerita Mahabarata, dimana dalam cerita tersebut Gatotkaca dikisahkan sebagai ksatria yang gagah perkasa dan pemberani, anak dari Bimasena, salah satu dari ksatria Panca Pandawa.
Ia dikenal sebagai ksatria yang ahli terbang dan bertanggungjawab pada pertahanan udara serta memberi perlindungan bagi keselamatan kerajaan Pandawa.
Patung ini dipercaya dapat memberikan perlindungan spiritual kepada turis asing atau pengunjung yang pergi dan datang ke Bali.
Patung Satria Gatot Kaca ini dibuat I Wayan Winten, pematung asal Teges Peliatan, Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali.
Patung Dewaruci yang mengambil ide cerita pewayangan saat Bhima bertemu dengan guru sejatinya, Dewaruci (dalam budaya Bali lebih dikenal dengan nama Acyntia = Tuhan yang bersemayan dalam diri).
Bima dalam cerita pewayangan disosokkan sebagai seseorang yang berbadan tegap, berkarakter lugas, egaliter, dan setia. Salah satu keluarga Pendawa ini sangat hormat kepada gurunya. Saat dia diperintah Dorna untuk mencari air hidup (tirta amerta) di samudera yang ganas, Bima tak sedikitpun merasa gentar. Dikisahkan, dia kemudian harus menghadapi Naga Nembur Nawa, si penjaga samudera. Di saat Bima hampir tengelam tiba-tiba muncul anak kecil yang menyerupai Bima. Dialah Dewa Ruci, mimesis Bima. Pesan moral dari cerita Dewa Ruci adalah siapa mengenal dirinya akan mengenal Tuhan-nya.
Patung ini dibuat pada tahun 1996
Terletak di persimpangan yang menghubungkan wilayah Kuta, Sanur, Nusa Dua dan Denpasar, tepatnya di muka Duty Free Shop ~ yang juga merupakan titik/pusat wilayah Kuta baik dihitung secara Sekala maupun Niskala.
Patung Dewaruci ini dibuat I Wayan Winten, pematung asal Teges Peliatan, Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali.
Nasi Jenggo sebenernya adalah nasi campur atau nasi rames yang dibungkus sama daun pisang. (Mirip nasi kucing yang ada di Solo) Ukurannya kecil. Harganya berkisar antara 1000 sampe 1500 perak, tergantung pilihan lauknya, ayam, daging sapi, telur atau ikan. Lauk2 tadi biasanya didampingi dengan sedikit mie goreng, kering tempe dan sambel. Semua dalam porsi kecil.
Biasanya orang beli nasi jenggo ini beberapa bungkus sekaligus. Untuk mengenyangkan 1 perut lapar, standard orang asia, mungkin perlu 3 sampai 4 bungkus nasi jenggo. Bisa juga lebih kalau orangnya bener2 kelaparan atau kesurupan.
Pada umumnya nasi jenggo ini dijual malam hari, tempat paling mudah untuk mendapatkannya adalah sekitar area parkir pasar setempat.
Desa Kamasan yang berada di Kecamatan Klungkung. Dari Kota Denpasar jaraknya sekitar 43 km ke arah barat. Desa tersebut dijadikan sebagai daerah objek wisata oleh Kabupaten Klungkung karena daerah ini merupakan pusat kerajinan lukisan maupun ukiran tradisional yang mempunyai gaya (style) tersendiri yang disebut gaya Kamasan yang didominasi oleh karakter-karakter tokoh wayang dalam epos Mahabarata dan Ramayana.
Gaya Kamasan ini, menurut kesan para kolektor internasional, masih sangat halus, bersih, tidak banyak detail yang tidak penting dan sangat jelas pesan ceritanya. Lukisan dan ukiran yang bertema tokoh-tokoh pewayangan itulah yang membawa daya tarik tersendiri bagi para wisatawan yang berkunjung ke Desa Kamasan.
Konon, komunitas para perajin di Desa Kamasan sudah ada sejak masa neolitikum (+ 2000 SM). Hal ini dibuktikan dengan adanya data temuan arkeologis pada tahun 1976 dan 1977 di Desa Kamasan, Gelgel dan Tojan yang berupa tahta-tahta batu, arca menhir, palungan batu, monolit yang berbentuk silinder, batu dakon, dan lorong-lorong jalan yang dilapisi batu kali.
Tradisi dari zaman neolitik ini oleh para pande di Kamasan semakin ditingkatkan lagi pada masa Raja Ida Dalem memerintah di Kerajaan Gelgel (1380-1651). Produk seni ukir logam emas atau perak para pande ini yang berwujud bokor, dulang dan lain sebagainya dijadikan sebagai barang-barang perhiasan Keraton Suweca Linggaarsa Pura Gelgel.
Pada waktu itu, selain seni ukir, berkembang pula seni lukis wayang dan hiasan di atas kain berupa bendera (kober, umbul-umbul, lelontek), kain hiasan (ider-ider dan parba) yang digunakan sebagai pelengkap dekorasi untuk tempat-tempat suci (pura) dan bangunan keraton.
Pada saat Dalem Waturenggong berkuasa di Kerajaan Gelgel, di daerah Kamasan, terutama di Banjar Sangging dan Banjar Pande Mas menjadi pusat kerajinan ukiran dan lukisan di Klungkung. Kedua banjar ini dapat dikatakan menjadi Banjar Gilda karena seluruh penduduknya berprofesi sebagai perajin dan bekerja atau mengabdi kepada raja. Kedua banjar di Desa Kamasan ini tetap dipertahankan sebagai Banjar Gilda walaupun Kerajaan Gelgel pada tahun 1686 dipindahkan oleh Dewa Agung Jambe ke Klungkung.
Walaupun Klungkung telah berubah menjadi salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Bali dan Banjar Sangging maupun Banjar Pande Mas bukan lagi Banjar Gilda dari raja Klungkung, para seniman dan perajin di Desa Kamasan masih tetap menghasilkan lukisan dan ukiran gaya Kamasan. Bahkan, saat ini produk yang dihasilkan pun semakin beragam, tidak hanya terbatas pada ukiran emas dan perak tetapi muncul pula seni ukir yang berbahan tembaga, kuningan dan selongsong peluru.
Lukisan gaya Kamasan ini juga dijadikan ornamen yang menghiasi plafon/langit-langit Bale Kambang (Kertagosa)
Kertagosa adalah kompleks bangunan kuno yang didirikan pada masa pemerintahan Raja Klungkung pertama, Dewa Agung Jambe, pada abad ke-17. Dewa Agung Jambe adalah putera ke-2 dari Dalem Dimade, raja terakhir di kerajaan Gelgel yang juga disebut Suweca Pura. Setelah Dewa Agung menjadi raja Klungkung, maka dia membuat istana (puri) Klungkung yang diberi nama Semara Pura yang mempunyai makna “tempat cinta kasih dan keindahanâ€. Di puri inilah terdapat kompleks Kertagosa yang terdiri dari dua bangunan pokok, yaitu bangunan Taman Gili1 dan bangunan Kertagosa.
Bangunan Kertagosa pada zaman dahulu mempunyai beberapa fungsi, di antaranya adalah:
*sebagai tempat persidangan yang dipimpin oleh raja sebagai hakim tertinggi; *sebagai tempat pertemuan bagi raja-raja yang ada di Bali;
* sebagai tempat melaksanakan upacara Manusa Yadnya atau potong gigi (mepandes) bagi putera-puteri raja.
Pada masa pemerintahan Raja Dewa Agung Putra Djambe Belanda melakukan penyerangan secara besar-besaran (selama tiga hari). Penyerangan itu mengakibatkan Puri Semara Pura hancur. Hanya ada beberapa bangunan yang tersisa antara lain bangunan Kertagosa, Taman Gili dan Pemedal Agung (pintu gerbang Puri). Dalam penyerangan yang kemudian dikenal sebagai “Persitiwa Puputan Klungkung†ini (28 April 1908) Dewa Agung Putra Djambe dan para pengikutnya gugur.
Setelah dikuasai oleh Belanda, Kertagosa tetap difungsikan sebagai balai sidang pengadilan. Pada tahun 1930 lukisan wayang yang terdapat di Kertagosa dan Taman Gili direstorasi oleh para seniman lukis dari Kamasan. Dalam restorasi tersebut, lukisan yang menghiasi langit-langit bangunan yang semula terbuat dari kain dan parba diganti dan dibuat di atas eternit, lalu dibuat lagi sesuai dengan gambar aslinya. Restorasi lukisan terakhir dilakukan pada tahun 1960.
Struktur Bangunan
Bangunan Kertagosa dan Taman Gili terdiri atas dua lantai. Atap bangunan terbuat dari ijuk dan dilengkapi dengan undak (tangga naik). Atap tersebut diberi tambahan yang berupa hiasan patung dan relief (mengelilingi bangunan).
Di samping itu pada langit-langit (plafon) diberi tambahan hiasan berupa lukisan tradisional bermotif wayang yang dilukis dengan gaya Kamasan. Lukisan yang ada di langit-langit bangunan Taman Gili bercerita tentang:
bagian terendah dari plaffon: Tantri Kandaka
gambaran tentang segala keburukan/dosa yang diperbuat oleh manusia selama hidupnya.
bagian kedua & ketiga: Atma Presangsa
gambaran tentang hukuman yang diterimakan oleh jiwa yang berdosa (konsepsi neraka versi Bali)
bagian keempat: Sang Garuda Amerta
kisah perjalanan Sang Garuda dalam mencari air kehidupan
bagian kelima: Palelindon
ramalan-ramalan tentang terjadinya gempa bumi
bagian keenam & ketujuh: Bhima Swarga
kisah pertarungan Bhima untuk membebaskan roh orang tua dan saudara-saudaranya agar terbebas dari hukuman neraka
bagian ke delapan: Sorga Roh
gambaran tentang surga
bagian kesembilan:
menggambarkan alam para dewa
Pada bagian puncak plaffon terdapat kisah tentang Sutasoma, Pan Brayut, Palalintangan.
Sekelumit ceritera-ceritera yang Terdapat pada Lukisan
Cerita Sutasoma
Cerita Sutasoma dapat disaksikan di bangunan Taman Gili pada panel tingkat pertama, kedua, ketiga dan keempat dari atas pada langit-langit bangunan. Cara membacanya dimulai dari panil paling atas sebelah selatan, dari kiri ke kanan. Fragmen ini menceriterakan perjalanan Sang Sutasoma dari kerjaan Astina menuju pegunungan Mahameru. Dalam perjalanan tersebut banyak rintangan yang harus dihadapi, tetapi dengan kekuatan batin yang dimiliki, Sutasoma berhasil mengatasi segala rintangan.
Pan Brayut
Ceritera Pan Brayut tergambar pada deret kelima dari atas, pada langit-langit Taman Gili. Sedangkan, kronologi ceritera dapat disaksikan dari pojok timur-laut ke selatan. Lukisan ini menceriterakan kehidupan Pan Brayut yang dikaruniai 18 anak, sehingga hampir tidak ada waktu untuk mengurus hal-hal lain, kecuali mengurus anak.
Palalintangan
Panel mengenai Palalintangan, terdapat pada deret paling bawah langit-langit bangunan Taman Gili. Palalintangan adalah pengertian akan adanya pengaruh bintang-bintang di langit terhadap kelahiran manusia. Di sini diceriterakan adanya 35 macam watak manusia yang berbeda-beda menurut hari lahirnya.
Ni Dyah Tantri
Cerita Ni Dyah Tantri terdapat pada panil paling pertama (paling bawah) pada langit-langit bangunan Kertagosa, yang dimulai dari panel sebelah timur beriring ke selatan, barat dan berakhir pada panil sebelah utara. Cerita Ni Dyah Tantri, menceritakan seorang gadis bernama Ni Dyah Tantri yang berusaha menghapuskan keinginan seorang raja untuk selalu mengawini gadis setiap hari. Ni Dyah Tantri adalah seorang puteri Maha Patih dari Raja yang suka perempuan tersebut. Sebagai Maha Patih setiap hari dititahkan oleh Raja mencari seorang gadis. Untuk itu Ni Dyat Tantri berani mengorbankan dirinya membantu ayahnya untuk mendampingi menjadi isteri raja. Karena kepandaiannya berceritera, setiap malam Ni Dyah Tantri memberi ceritera kepada raja tersebut sehingga keinginannya untuk setiap hari mengawini seorang gadis dapat dihilangkan.
Bhima Swarga
Cerita Bhima Swarga dilukiskan pada panil tingkat kedua dan ketiga dan dilanjutkan pada panil tingkat keenam, ketujuh dan kedelapan, pada bangunan Balai Kertagosa. Cerita dimulai pada panil sebelah timur kemudian selatan, barat dan utara, mengelilingi bangunan hingga berakhirnya ceritera ini. Cerita Bhima Swarga menceriterakan perjalanan Bhima (putera kedua Pandawa) ke Yamaloka yang disertai oleh ibunya Dewi Kunti, saudara-saudaranya (Yudistira, Arjuna, Nakula dan Sadewa), untuk mencari ayahnya, Pandhu dan ibu tirinya, Dewi Madrim. Di Yamaloka, dijumpai berbagai peristiwa yang dialami oleh roh (atma) sesuai dengan perbuatannya di dunia. Misalnya orang yang suka berdusta lidahnya ditarik, orang yang suka berzinah dibakar dan sebagainya. Apa pun rintangan yang dihadapinya, tetapi karena semangat dan ketetapan hati yang dimiliki, akhirnya Bhima berhasil memperoleh air suci (amrta) yang dapat dipergunakan untuk menebus ayah dan ibu tirinya di Yamaloka.
Pelelindon
Pelelindon dilukiskan pada panil tingkat kelima dari bawah pada langit-langit bangunan Balai Kertagosa. Ceritera Pelelindon ini dimulai dari tengah-tengah panil sebelah utara selanjutnya berurutan ke timur, selatan, barat dan kembali pada panil sebelah utara.
Nama Tirta Empul sudah tercantum dalam Prasasti Manukaya, berangka tahun 884 Saka atau 962 Masehi.
Prasasti ini dikeluarkan Raja Candrabhayasingha Warmadewa.
Dalam prasasti disebutkan, sang Raja Candrabhayasingha Warmadewa pada bulan keempat paro terang hari ketigabelas tahun Saka 884 telah memperbaiki permandian suci di Air Mpul yang batunya telah rusak akibat aliran air.
Air suci dalam bahasa Bali dikenal dengan sebutan tirta, karena itu Air Mpul yang dimaksud dalam prasasti itulah kini dikenal dengan nama Tirta Empul. Itu berarti Tirta Empul paling tidak sudah ada sejak abad ke-10, kurang lebih 1100 tahun silam! Sungguh luar biasa, karena fungsinya tetap tidak berubah dari zaman ke zaman.
Tirta Empul tetap sebagai kawasan suci dan sumber air suci.
Sumber air Tirta Empul inilah kemudian mengalir menjadi Tukad Pakerisan di sisi timur dan Patanu di sisi barat.
Air yang mengalir dari Tirta Empul ini dinilai suci, karenanya sampai kini masyarakat Bali di sekitar menjadikan air Tirta Empul ini sebagai air suci yang digunakan dalam upacara-upacara tertentu.
Dari satu sumber mata air Tirta Empul yang dibuatkan kolam bernama Telaga Tirta Suci ini lantas dialirkan sehingga menjadilah masing-masing Tirta Teteg, Tirta Sudamala, Tirta Pangelukatan, Tirta Pamarisuda, Tirta Pamlaspas, Tirta Panglebur Ipian Ala, Tirta Pangentas, dan Tirta Pabersihan semua semacam ruwatan di Jawa.
Masyarakat awam di Bali memahami Tirta Empul terkait dengan mitos penaklukan Raja Mayadanawa oleh Batara Indra. Konon, Raja Mayadanawa ini sangat sakti. Dia melarang rakyat Bali menghaturkan persembahan apa pun kepada para dewata, sebaliknya meminta rakyat agar memuja dirinya sebagai dewata.
Karena keangkuhannya ini para dewata di kahyangan lantas mengutus Batara Indra memerangi Mayadanawa. Tiada terhindarkan, terjadilah perang amat dahsyat antara pasukan Batara Indra melawan pengikut Mayadanawa. Setiap kali Mayadanawa terdesak dia lantas menciptakan yeh cetik (air racun). Pasukan Batara Indra tewas setiap kali meminum yeh cetik.
Guna mengalahkan yeh cetik ciptaan Mayadanawa, Batara Indra lantas menciptakan benteng membendung yeh cetik. Berikutnya, dari dalam tanah menyembullah air bening, dinamakan Tirta Empul. Konon, Tirta Empul atau air yang menyembul dari dalam tanah inilah yang dapat menghidupkan kembali bala tentara pasukan Batara Indra yang telah tewas oleh yeh cetik Mayadanawa. Di akhir kisah disebutkan, Mayadanawa pun dikalahkan Batar Indra.
Mitos yang tertuang dalam teks Usana Bali itu tentu sulit dibuktikan kebenarannya.
Namun satu hal bisa dipastikan: fungsi utama air Tirta Empul itu adalah menyucikan, membersihkan, melebur kekotoran lahir maupun batin menjadi bersih, suci, hening.
Sumber Bali Indigo
0 komentar:
Posting Komentar